Kata mereka kemiripan adalah tanda kejodohan. Berulang kali kupandangi kamu, sampai bosan mata memicing dari jauh, dan aku percaya kita betul serupa.
Sekilas lagi kulayangkan pandang. Untuk kesekian kali mataku terpana, bersama dengan hati yang terpanah. Tak ada yang lebih kuinginkan dari melebur denganmu. Menjadi satu.
Sebait doa menguap ke langit hitam, bersama sebaris jejak yang kausebarkan. Biar kata langit menggelap, kamu justru makin mempesona. Sampai-sampai mereka yang mengelilingimu pun makin merapat. Menutupi celah pandangku.
Angin berbisik dari balik daun-daun wajik, “Aku bisa mengantarmu kepadanya.”
Aku masih bergeming.
Angin berbisik sekali lagi. Sedikit lebih kencang, hingga dahan-dahan bertabrakan.
Kupejamkan mata. Kalau kulewatkan kesempatan ini, akankah aku menyesal di lain hari? Mungkin. Bukan. Pasti.
Aku mengangguk pelan. Kurasakan tubuhku bergerak, maka kubuka mata. Detik demi detik, wajahmu makin jelas kulihat. Merona gagah, memagnet setiap pasang mata. Apakah aku pantulan cahayamu atau sebaliknya, tak penting – kita serupa, kuyakinkan diri berkali-kali – kita adalah dua yang ditakdirkan -
Mendadak aku teringat sesuatu. Sebuah kisah lintas generasi, tentang kita, kasta, dan cinta. Tentang takdir yang tak bisa ditafsir. Kita tak bisa saling memiliki. Aku tidak dilahirkan untuk meraihmu, kamu tidak dilahirkan untuk memeriahkan hariku.
Satu inci. Tak ada waktu untuk minta angin berhenti. Inilah jawaban doaku, melebur denganmu; walau mungkin sejatinya aku salah memilih diksi. Tapi… sudahlah. Setidaknya aku menyumbangkan sesuatu bagi samudera kisah-kisah cinta yang tumbang. Lebur aku dengan pesonamu, lumatkan dengan cinta yang kupunya; wahai api unggun, dari selembar daun musim gugur.
(Untukmu yang FeelGuilty hari ini...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar