Di dalam Islam, umatnya diminta mencari rezki yang berkah, yakni bersih dan halalan thayyibah.
Kekayaan dan kebahagiaan yang hakiki ialah kekayaan dan kebahagiaan batin (al-gina ginan nafs), yang diperoleh melalui cara-cara yang sah dan benar. Tanpa kekayaan dan kebahagiaan batin maka sesungguhnya tidak ada berkah. Yang ada hanya kamuflase kebahagiaan. Kita juga tidak bisa memandang enteng orang miskin harta atau materi sebab tidak sedikit di antara mereka yang menemukan kebahagiaan batin. Namun manusiawi jika orang-orang menghendaki kedua-duanya, karena kita juga diajari doa oleh Allah SWT sendiri: Rabbana atina fiduunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa quna 'adzabannar.
Konsep berkah tidak berarti larangan untuk mengumpulkan kekayaan materi. Islam mengharuskan orang untuk bekerja produktif tetapi tetap efisien dan efektif serta menempuh cara-cara yang benar. ”Dunia adalah cermin akhirat”, demikian kata Hadis. Sulit membayangkan akhirat yang baik tanpa dunia yang sukses. Ibadah mahdlah seperti shalat, zakat, haji, bahkan puasa, pun membutuhkan cost. Semuanya perlu biaya dan biaya itu urusan dunia yang harus dilakoni.
Untuk memperoleh berkah tentu kita juga harus selalu merasa optimisme dan mengedepankan semangat juang (al-raja’ wa al-mujahadah) di dalam diri. Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Rasulullah di Goa Hira, ketika ia sedang hidup berkecukupan di samping isterinya Khadijah yang kaya, bangsawan dan serba berkecukupan. Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan kediaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana ’uzlah (pemisahan diri) sementara dari suasana hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Bisa saja dengan melakukan i’tikaf di salahsatu mesjid, apalagi di dalam bulan suci Ramadlan.
Di dalam mesjid kita berniat untuk beri’tikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Al-Qur’an lebih banyak, shalat, tafakkur dan berzikir. Niatkan bahwa mesjid ini adalah goa Hira atau goa Kahfi, yang pernah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Nabi Ashhabul Kahfi, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan.
Jika suasana batin diabiarka berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkitan akan melahirkan generasi lemah (dha’f) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Kita perlu mengingat bahwa jika kehidupan di akhirat setara dengan 1000 tahunnya dunia, maka kalau ada orang dikarunia usia 70 tahun maka itu artinya sekitar 3 menitnya akhirat. Maukah kita menukar hanya tiga menit dengan keabadian akhirat?
Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baqa di akhirat. Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan shadaqah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita tafakkur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahdzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita). Kita perlu menyiapkan waktu untuk merawat jiwa kita supaya bisa lebih sensitif. Semuanya ini berarti kebahagiaan spiritual akan lebih diperlukan manusia dan dimensinya sampai di akhirat kelak, insya Allah.
Hubungan antara berkah dan ketenangan batin sangat erat. Kita sulit membayangkan ketenangan batin di atas rezki yang haram dan syubhat. Bagaimana bisa tenang jika darah yang mengalir di dalam tubuh kita bersumber dari kalori dan protein yang tidak halal. Bagaimana doa bisa diterima jika kedua tangan yang diangkat berasal dari energi yang haram?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar