Hentikan “Industri Kasihan” di Jalanan
Peserta Jambore Nasional menuliskan mimpinya di selembar kain putih. Ada yang bermimpi bisa nonton di bioskop, ada yang bermimpi ingin jadi Pemadam Kebakaran
Sekitar dua minggu lalu, saya mendapat sebuah kesempatan langka untuk bisa bergabung di acara Jambore Sahabat Anak di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta. Sahabat Anak adalah organisasi nirlaba yang fokus untuk mengajak anak-anak marjinal (Anda mengenalnya dengan sebutan anak jalanan) bermain dan belajar.
Di Jambore Sahabat Anak, sekitar 1,000 orang anak jalanan plus 700-an volunteer berkumpul. Kami menginap di tenda sederhana, mengikuti berbagai permainan selama dua hari. Acara tersebut diadakan untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh besok.
Dalam acara ini, saya menjadi salah satu kakak pendamping. Bertugas menemani adik-adik dampingan. Dengan kesempatan ini, saya jadi punya kesempatan untuk lebih dekat dengan adik-adik peserta. Ada satu adik favorit saya. Badannya kecil, tapi yang paling pede untuk memimpin. Kita sebut saja namanya Agus.
Pada suatu waktu, kelompok kami sedang berada di sebuah pos yang mengajak adik-adik untuk berpendapat dan bercerita. Salah satu pertanyaan di pos itu, “Siapa yang uang jajannya sehari Rp 50 ribu?”
Saya waktu itu merasa panitia agak gila, menanyakan uang jajan Rp 50 ribu kepada anak marjinal. Tapi yang mengagetkan, ada beberapa anak yang maju. Agus, salah satunya. Penasaran, di waktu yang tepat, saya tanyakan hal ini ke si kecil tersebut, “Kamu dapat uang Rp 50 ribu tiap hari dari mana? Bohong ya bilang jajannya segitu”
“Enak ajaaa… Beneran tau, Kak! Dapat duit itu ya dari nyapu kereta.”
“Lho, dibayar sama masinis keretanya?”
“Bukan, dibayar penumpang.”
Dia menganggap menyapu kereta adalah kerja dengan gaji dari penumpang. Dari Anda.
Salah seorang peserta menuliskan keinginanya untuk kembali sekolah.
Lalu, apa hubungannya dengan "Industri Kasihan"?
Sekarang Anda bayangkan, kalau sehari saja Agus bisa mendapatkan uang Rp 50 ribu, maka dia bisa mendapatkan Rp 1,5 juta sebulan. Nilai yang setara dengan UMR di Jakarta! Lalu, di pikiran anak kecil yang sederhana, buat apa dia sekolah tinggi-tinggi kalau dengan hidup di jalanan bisa mendapat uang yang sama?
Belas kasihan Anda telah membangun Industri Kasihan. Karena Anda kasihan, kini mereka tetap bertahan di jalanan. Mencari uang. Maka, kalau Anda nggak mau mereka ada di jalanan, berhentilah kasihan. Jangan beri mereka uang.
Mungkin Anda bertanya dalam hati, “Yah nilai Rp 50 ribu itu kan nggak selalu segitu.” Benar kalau mereka nggak selalu mendapatkan uang 50 ribu. Tapi ada juga yang mendapatkan lebih dari 100 ribu setiap hari.
Jadi, stop belas kasihan Anda di Jalanan. Berhentilah memberi mereka uang.
Tapi, saya ingin membantu…
Dengan berhenti memberi anak jalanan uang, maka Anda sudah selangkah membantu untuk membuat mereka meninggalkan jalanan.
Sekarang coba bayangkan. Satu anak jalanan mendapat sekitar Rp 50 ribu sehari. Menurut data dari Dinas Sosial Jakarta yang saya dapat dari googling (semoga ini angka yang sesuai kenyataan), ada lebih dari 7,000 anak jalanan yang hidup di Jakarta. Mari hitung secara Matematika.
Dengan Rp 50 ribu sehari untuk satu anak, setiap harinya ada sekitar Rp 350 juta uang yang beredar di jalanan Jakarta. Dalam sebulan, ada Rp 10,5 Milyar uang beredar di jalanan, berkat Industri Kasihan yang Anda bangun. Belum termasuk yang diberikan ke orang-orang yang nggak terhitung sebagai “anak”.
Dengan uang sebanyak itu, setiap bulan kita sudah bisa membangun sekolah-sekolah sederhana untuk anak jalanan. Membelikan buku, mainan, dan lain-lain. Maka, kalau Anda ingin membantu, sekarang kumpulkan recehan Anda setiap bulan, cari lembaga yang tepat, donasikan ke sana, bukan ke jalan. Lembaganya apa, tinggal Googling saja. Ada banyak pilihannya
Kalau Anda ingin membantu tapi nggak mau dalam bentuk uang, bisa juga lewat mengajar. Ajari mereka baca tulis, menghitung, berperilaku sopan, bermain, bermimpi. Ada banyak tempat yang bisa Anda datangi. Nggak harus komitmen datang setiap akhir pekan. Tinggal googling saja.
Salah seorang peserta yang cita-citanya jadi penyanyi
Jalanan Itu Keras, Jendral!
Saya sudah sering membayangkan bahwa hidup di jalan
pastilah keras. Tapi, saya masih tetap kaget melihat betapa tempaan jalanan mempengaruhi pribadi mereka. Nggak gampang untuk mendekati mereka dan mengajak bercerita. Harus perlahan dan sabatr.
Dengan membiarkan anak-anak itu hidup di jalanan, maka mereka juga akan hidup dengan risiko-risiko kekerasan. Mulai dipukuli, bahkan diperkosa. Seorang teman saya yang juga pendamping bahkan menyebutkan, ada salah seorang adik dampingannya yang mengaku sering sembunyi di selokan hingga tertidur karena nggak berani masuk rumah. “Kalau nggak dapat duit banyak, bisa dimarahin bokap-nyokap.”
Jadi, simpan recehan Anda dan berhentilah mengembangkan Industri Kasihan
Selamat Hari Anak Nasional!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar